Total Tayangan Halaman

Senin, 24 Januari 2011

Warisan, Perjuangan dan Pembebasan


Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa atau Jacatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan : 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.588.198 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.

Museum Fatahillah, Pelabuhan Sunda Kelapa, Masjid Raden Saleh, adalah sebagian dari saksi nilai-nilai perjuangan dan pembebasan bangsa Indonesia. Mampukah nilai-nilai itu terwariskan? Sampai kapan bisa bertahan?

Sejak abad ke-13 ada sebuah kerajaan besar di wilayah Jawa Barat yang dikenal dengan nama Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran dan juga sering disebut dengan Kerajaan Cunda Calapa. Kerajaan yang terletak di antara sungai Ciliwung, Cipakancilan dan Sungai Cisadane ini merupakan kombinasi Galuh dan Pakuan dengan ibu kota di Bogor.
 Berdasarkan tulisan Prasasti Batu Tulis di Bogor maupun naskah-naskah kebantenan dan dokumen seperti yang ditulis oleh penjelajah Portugis bernama Tom Pires, Kerajaan Cunda Calapa memiliki pengaruh sangat besar di seluruh daerah Jawa Barat. Salah seorang raja terkenal yang ditulis dalam Prasasti Batu Tulis adalah Sri Baduga Maharadja (1490-1521).
Tom Pires yang mendarat di pelabuhan Cunda Calapa (1512-1515) antara lain mengatakan bahwa kerajaan tersebut memiliki beberapa pelabuhan penting yakni Banten, Pontang, Ciguede, Tangerang, Calapa dan Cimanu (Indramayu) dan Cheribon. Menurut Pires Calapa (Sunda Kelapa) adalah satu bandar utama atau pelabuhan paling besar dan strategis bagi daerah-daerah sekitarnya karena menjadi penyangga sejumlah pelabuhan di Nusantara seperti Sumatra, Palembang, Laue, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa, dan Madura.
Pada tahun 1511 Portugis berhasil merebut Malaka di bawah Alfonso d'Albuquerque. Mereka mencari sumber rempah-rempah terutama merica. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1513 armada Eropa pertama kali merapat dan membuang sauh di dermaga Sunda Kelapa. Empat kapal Portugis yang dikomandani oleh Alvin ini merupakan awal orang Eropa menduduki wilayah Nusantara. 
Tanggal 21 Agustus 1522, utusan Portugis bernama Erique Leme datang ke Kerajaan Sunda Kelapa membawa hadiah bagi raja Pasundan. Dia diterima dengan ramah dan pertemuan itu melahirkan perjanjian persahabatan yang ditandatangani antara Pasundan dan Portugis. Selanjutnya orang-orang Portugis diberi hak membangun gudang-gudang dan sebuah benteng. Kerajaan Pasundan atau Sunda Kelapa memandang perjanjian itu sebagai penguatan posisi mereka untuk menghadapi pasukan-pasukan Islam dari kerajaan Demak di Jawa Tengah. Untuk mengenang peristiwa perjanjian ini didirikan prasasti bernama Pradrao.

Pelabuhan Sunda Kelapa
Antara abad ke-12 hingga awal abad ke-18 kapal-kapal yang ada di pelabuhan Sunda Kelapa masih dapat melayari muara sungai Ciliwung. Bandar ini sangat ramai dan dikunjungi oleh kapal-kapal yang datang dari berbagai tempat seperti Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar serta pedagang-pedagang dari India dan Tiongkok. Dari bandar ini merica, beras dan emas diekspor ke negeri-negeri di luar Nusantara. 
Ketika masih di bawah kekuasaan Portugis, kerajaan ini diserang pasukan dari Kesultanan Demak Faletehan atau Fatahillah pada tahun 1527 dengan mendaratkan pasukannya sebanyak 1.453 yang berasal dari Demak dan Cheribon. Setelah berhasil menguasainya, pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya "Kota Kemenangan". 
 Kekuasaan ini berlangsung cukup lama tetapi kemudian berakhir, tepatnya ketika pada 30 Mei 1619 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memimpin pasukan Belanda menyerang istana Jayakarta secara besar-besaran. Tidak ada yang tersisa dari Jayakarta selain batu prasasti Pradao yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. 
Setelah berhasil menakklukkan Jayakarta Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengusulkan untuk mengganti nama Jayakarta menjadi Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sebuah nama yang merupakan tempat kelahiran sang Gubernur Jenderal di Belanda. Tapi usulan itu ditolak oleh Raad van Indie (Dewan Hindia), yang kemudian menetapkan nama kota itu menjadi Batavia. Dari tahun 1619 nama Batavia tetap digunakan sampai pada tanggal 5 Maret 1942, ketika pemerintah Jepang menggantinya dengan nama Jakarta.
Saat ini, kalau kita berwisata sejarah di sekitar kawasan pelabuhan Sunda Kelapa, kita dapat meluangkan waktu mengunjungi beberapa lokasi seperti Menara Syahbandar di tepian Kali Besar. Beberapa meter dari tempat ini kita bisa lihat sebuah jembatan yang dapat ditarik (drawbridge), sebuah peninggalan masa Dutch East-India Company. Jembatan ini dinamakan Hoenderpasarbrug alias Jembatan Pasar Ayam.
Menara Syahbandar dibangun di tahun 1839 menggantikan menara bendera di galangan kapal di sebelah kanan tepian sungai. Di sebelah barat dari menara tersebut dapat kita lihat Museum Bahari, yang bercirikan arsitektur Belanda. Museum ini sisa dari Westzijdsche Pakhuizen (gudang di sisi barat sungai). Disinilah rempah-rempah yang akan diangkut disimpan. Area sekitar Menara Syahbandar dahulu adalah pusat dari Kota Batavia. Ini merupakan pusat dari jaringan niaga yang mencapai Deshima (Nagasaki) di Japan, Surate di Persia dan Capetown di Afrika Selatan.

Museum Fatahillah
Museum Fatahillah atau disebut juga sebagai Gedung Museum Sejarah Jakarta dibangun oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sebagai gedung balaikota kedua pada tahun 1626 (balaikota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dibangun kemudian hari. Tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah. Solusi mudah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi lantai dinaikkan sekitar 2 kaki, yaitu 56 cm. Menurut suatu laporan 5 buah sel yang berada di bawah tanah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung utama diperlebar di bagian Barat dan Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis atau balai kota dan penjara-penjaranya terus dilakukan hingga bentuk yang kita lihat sekarang ini.
Gedung ini selain digunakan sebagai stadhuis juga digunakan sebagai "Raad van Justitie" (Dewan Pengadilan) yang kemudian pada tahun 1925-1943 dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintahan Propinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 digunakan sebagai markas Komando Militer Kota (KMK) I, yang kemudian menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Tahun 1968 diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta, lalu diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Di antara koleksi museum sejarah Jakarta adalah Meriam si Jagur, sketsel, patung Hermes, pedang eksekusi, lemari arsip, lukisan Gubernur Jendral VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, meja bulat berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti dan senjata. 
Masjid Raden Saleh
Salah satu pelukis aliran realis dari generasi awal Indonesia adalah Raden Saleh yang nama lengkapnya adalah Raden Saleh Syarif Bustaman dilahirkan di Terbaya, Semarang pada tahun 1807 (beberapa dokumen Belanda menyatakan Raden Saleh lahir tahun 1811 atau 1814).
Di Batavia Raden Saleh tinggal di daerah Cikini. Kini bekas rumahnya menjadi Rumah Sakit Cikini, yang dahulu disebut Koningen Emma Hospital, milik Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma), sedangkan pekarangannya yang luas dia hibahkan kepada pengurus kebun binatang yang kini menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM). Bersama-sama dengan masyarakat, pada tahun 1840 (atau 1860) Raden Saleh membangun sebuah masjid di sebelah kediamannya yang kini lebih dikenal dengan nama Masjid Jamii' Cikini Al-Makmur. Masjid ini merupakan salah satu dari lima masjid tertua di Jakarta. Akibat kedekatan pelukis kondang ini dengan umat Islam, ia pernah dituduh terlibat dalam kerusuhan di Tambun (Bekasi). Kerusuhan tersebut digerakkan umat Islam yang menentang Belanda. Meskipun tuduhan itu tidak terbukti, Belanda tetap mengenakan tahanan rumah kepadanya.
Tahun 1890 masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung beramai-ramai oleh masyarakat sekitar di lokasi mesjid sekarang. Hingga tahun 1923 pihak Koningen Emma Sticthing menuntut agar masjid itu dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh.
Keinginan itu dibalas dengan reaksi keras dari masyarakat Islam Betawi di sekitar Cikini. Aksi penentangan itu disokong pula oleh para tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, KH Mas Mansyur dan Abi Koesno Cokro Soeyono. Atas saran tokoh-tokoh tadi, tahun 1924 masjid justru dipugar dengan arsitektur yang lebih megah. Hilangnya kesan kumuh itulah yang diinginkan H. Agus Salim dan tokoh lainnya.
Untuk memberikan penghargaan kepada para tokoh yang sebagian merupakan aktivis Sarikat Islam (SI) dan Masyumi. pada kubah menara dan di muka masjid ditorehkan lambang bintang dan bulan sabit. Tahun 1935 pembangunan masjid selesai dan diberi nama Masjid Al-Makmur. Sejak saat itu masjid beratap susun dua itu dijadikan sebagai pusat aktivitas umat Islam di sekitarnya. (JDF, Vij/dari segala sumber)                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar