Total Tayangan Halaman

Minggu, 30 Januari 2011

Tiga Daerah Seputar Ngawi dalam Sejarah

Profil Kabupaten Ngawi
Kabupaten Ngawi terletak di wilayah barat Propinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.298,58 km2, di mana sekitar 40 persen atau sekitar 506,6 km2 berupa lahan sawah. Secara administrasi wilayah ini terbagi ke dalam 17 kecamatan dan 217 desa, dimana 4 dari 217 desa tersebut adalah kelurahan. Pada tahun 2004 berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) wilayah Kabupaten Ngawi terbagi ke dalam 19 kecamatan, namun karena prasaranan administrasi di kedua kecamatan baru belum terbentuk maka dalam publikasi ini masih menggunakan Perda yang lama. Secara geografis Kabupaten Ngawi terletak pada posisi 7o21’-7o31’ Lintang Selatan dan 110o10’-111o40’ Bujur Timur.
Topografi wilayah ini adalah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat 4 kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal yang terletak di kaki Gunung Lawu. Batas wilayah Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut:
  • Sebelah Utara: Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora (Propinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten
  • Bojonegoro. Sebelah Timur: Kabupaten Madiun.
  • Sebelah Selatan: Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan.
  • Sebelah Barat: Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen (Propinsi Jawa Tengah).
Selain penemuan benda-benda bersejarah, di sekitar Ngawi juga terdapat tiga tempat yang cukup terkenal yaitu Jogorogo, Tawun dan Alas Ketonggo. Dalam penelitian diperkirakan ketiga situs (tempat) tersebut erat hubungannya dengan negara-negara sekitar Ngawi.

Negara Jogorogo
Negara Jogorogo terletak di antara Gunung Lawu dan Bengawan Solo, sebelah selatan pegunungan Kendeng. (Jogorogo berasal dari kata Jogo = jogo, waspada Rogo = jatuh cinta, tubuh. Valentijn di dalam bukunya menyebut daerah Jogorogo (het landschap Jogorogo) terletak di antara daerah Gunung Lawu dan Kali Semanggi (Bengawan Solo), sedang DR. N.J Krom menyebut daerah Jogorogo di daerah Madiun.
Nama Jogorogo, tersebut dalam prasasti Waringin Pitu yang diketemukan di Desa Suradakan (Kabupaten Trenggalek) berangka tahun 1369 Saka (1474 M) serta di dalam buku Pararaton (1613 M). Prasasti tembaga Waringin Pitu dikeluarkan oleh Raja Jayaparakramawardhana (Dyah Kerta Wijaya) pada tahun 1369 Saka atau tepatnya 22 November 1474 M. Prasasti ini menyebutkan tentang penguasa di Jogorogo (paduka bhattara ring jaggaraga) bernama Wijayendudewi sebagai nama penobatan (nama raja bhiseka) atau Wijayaduhita sebagai nama kecil atau nama kelahiran (garbaphra sutinama) seorang Raja Puteri yang mengaku keturunan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) pendiri kerajaan Majapahit.
Prasasti ini juga memuji raja puteri (ratu) Jogorogo dengan deretan kalimat (sangsekerta) yang indah. Menurut Mr. Moh. Yamin arti terjemahan itu sebagai berikut : "Selanjutnya perintah sang prabu diikuti pula oleh Seri Paduka Jogorogo". - Nan bertingkah laku lemah gemulai dan utama, sesuai dengan kesetiaan kepada suaminya. - Nan dibersihkan kesadaran yang utama dan tidak bercacat, yang kaki tangannya dihiasi yang utama, yaitu tingkah laku penuh kebajikan dan lain-lainnya. - Yang berhati-sanubari tentang sesuai dengan kenang-kenangan yang tak putus-putusnya kepada suami, yang bertegak gelar-Kerajaan berbunyi Wijaya Indudewi dan bernama kecil Dyah Wijayaduhita

Negara Matahun
Oleh para sarjana, diperkirakan terletak disebelah barat Bojonegoro, di dekat utara Bengawan Solo dan dekat Cepu. Diperkirakan pula wilayah kekuasaan Matahun ini meliputi daerah dan desa Tawun, yang sekarang terkenal dengan sendang dan bulusnya.
Menurut prasasti Waringin Pitu, Raja Matahun bernama Dyah Samara Wijaya yang bergelar Wijaya Parakrama, tetapi menurut prasasti Kusmala (batu tertulis di Kandangan, Pare Kediri) berangka tahun 1272 S (1350 M) yang menjadi raja Matahun Paduka Bhatara Matahun adalah Sri Wijayarajhasanantawikratunggadewa, yang dikatakan telah berhasil membuat tanggul kokoh, kuat dan indah (Rawuhan atita durgga mahalip), sehingga menyebabkan kegembiraan semua penduduk yang bertempat tinggal di sebelah timur Daha (Magawaya suka ni parasamsya saka hawat lurah wetan I daha).
Dengan demikian daerah kekuasaan atau pengaruh negara Matahun  cukup luas, yaitu meliputi daerah sebelah barat Bojonegoro (sebelah utara Bengawan Solo) sampai dengan daerah Tawun, Madiun dan daerah Pare (Kediri).

Alas (hutan) Ketonggo
Oleh sebagian masyarakat, alas Ketonggo dikaitkan dengan "Jangka Jayabaya", masalah ini telah pula diuraikan oleh Dr. J Brandes dalam karangannya yang berjudul "lets Over een ouderen Dipanegara in verband met een prototype van de voor spellingen van Jayabaya".Dalam karangan tersebut menyebut sebuah naskah Jawa dimulai dengan kalimat yang berbunyi (Ini kitab ramalan cerita Raja Jayabaya di Momenang pada waktu menerima tamu raja dari Erum bernama Maolana Ngaji Samsujen)
Setelah itu disinggung nama kitab Musarar (kitab Hasrar, boek dergeheimenissen), yang berarti ramalan seluruh dunia (jangka ning jogot sedaya), diteruskan dengan menyebut nama beberapa orang raja, nama keraton dan beberapa ramalan yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain sebagai berikut :
Ada yang bernama Raden Amisan, menobatkan Ratu Adil, dari tanah Arab, menguasai seluruh dunia, Raden Amisan bernama Sultan Erucakra, waktu itulah berhenti kekacauan negara, nakhoda ikut ke tempat perjamuan, ratu keturunan Waliullah, kratonnya dua buah, disebut Jawa, bernama Katanggapetik, terletak di sebelah gunung Lawu, pada waktu timbul pengampunan, penghasilan negara berupa uang dinar, karena ratu bertindak adil, semua hamba takut dan cinta, bertahta tanpa kekurangan pada tahun 1800.
Setelah itu meninggal, datang pergi (bergantian) kratonnya, kemudian diganti oleh seorang ratu keturunan Ratu Adil tersebut, kratonnya juga disebut Katanggapati, terapit batu karang yang berbahaya, dekat gunung perahu, terletak di sebelah barat tempuran sungai, ratu itu baik di dunia, dan makmur negaranya, bertahta masih dalam tahun 1800.
Setelah itu meninggal (sirna) suasana kembali menjadi kacau, pemerintahan di tanah Jawa tidak karu-karuan, para bupati dan mancanegara bertindak sendiri-sendiri.
Kemudian disusul Ratu Asmarakingkin, bagus dan masih muda serta dicintai seluruh rakyat, kratonnya di Kediri dan Madura bertahta pada tahun 1900, dan makmur negaranya. (SN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar